Karhutla dan Amplifikatornya
Pada tahun 2023, banyaknya kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, dengan area yang terbakar mencapai 267.935 ha hingga bulan Agustus. Meningkatnya kasus karhutla di Indonesia sepanjang 2023 tidak luput dari kondisi musim kemarau dan fenomena El-Niño.
El-Niño merupakan fenomena global akibat dinamika atmosfer dan Samudra Pasifik yang terjadi setiap beberapa tahun sekali. El-Niño menjadi salah satu penyebab peningkatan suhu global yang berpotensi menyebabkan kekeringan dan cuaca panas ekstrem di beberapa wilayah tropis Pasifik, salah satunya di Indonesia. Dengan kondisi cuaca yang panas dan kering, potensi kebakaran hutan dan lahan akan meningkat dan lebih sulit untuk dikendalikan karena api dapat menyebar lebih cepat..
Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca
Karhutla tidak hanya membumihanguskan lahan-lahan vegetasi, melainkan juga melepaskan karbon yang selama ini disimpan oleh vegetasi ke atmosfer. Dengan pembakaran maka karbon dioksida akan diemisikan sehingga konsentrasinya di atmosfer akan meningkat. Karbon dioksida merupakan salah satu jenis gas rumah kaca (GRK) yang bertanggung jawab atas fenomena efek rumah kaca dan pemanasan global yang kemudian dapat memicu percepatan perubahan iklim saat ini.
Berdasarkan catatan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kasus karhutla di Indonesia menghasilkan 41,4 juta ton CO2e pada tahun 2021. Kira-kira, sekianlah besaran karbon yang diemisikan akibat karhutla yang terjadi pada tahun ini, atau bahkan dapat lebih tinggi lagi.
Padahal Indonesia memiliki target untuk mencapai nol emisi pada tahun 2060. Pemerintah, swasta, dan organisasi nasional telah menyusun agenda-agenda untuk mencapai target tersebut, seperti mempersiapkan transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan mendorong penggunaan kendaraan listrik. Sayang sekali jika ambisi nol emisi tersebut mesti didisrupsi dengan bencana karhutla yang justru menyumbang emisi.
Siklus yang Tak Berkesudahan
Sudahlah fenomena El-Niño menyebabkan peningkatan suhu global, diperparah dengan karhutla yang melepaskan jutaan karbon dioksida ke atmosfer, akibatnya cuaca panas ekstrem tidak dapat terhindarkan. Pada September 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa cuaca panas melanda di berbagai wilayah di Indonesia dengan suhu tertinggi mencapai 38℃. Cuaca panas tersebut tidak hanya dirasakan di wilayah sekitar kejadian karhutla, melainkan sampai di wilayah perkotaan yang notabene jauh dari area perhutanan.
Bagi masyarakat perkotaan, penggunaan alat pendingin merupakan solusi praktis untuk mengimbangi cuaca panas, baik menggunakan kipas angin maupun air conditioner (AC). Di sinilah masalah baru muncul. Dengan melihat kondisi kelistrikan di Indonesia yang masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar pembagkit listrik, konsumsi listrik yang berlebihan dari alat pendingin justru hanya akan menambah emisi karbon, yang pada akhirnya meningkatkan konsentrasi GRK dan berujung pada pemanasan global.
Selain itu, AC menggunakan chlorofluorocarbon (CFC) sebagai pendingin, yang juga merupakan salah satu GRK. Apabila AC digunakan dengan tidak bijak maka akan berpotensi untuk menguatkan efek rumah kaca dan pemanasan global. Bahkan dampak CFC dalam efek rumah kaca dan pemanasan global lebih tinggi daripada karbon dioksida.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Berdasarkan survei “Climate Change in Indonesian Mind” yang dilakukan oleh Yale Program on Climate Change Communication, mayoritas masyarakat Indonesia (81%) khawatir terhadap bencana karhutla. Lantas, apa yang dapat kita lakukan?
Setiap orang memiliki perannya masing-masing. Di antara mereka yang duduk di pemerintahan dapat menyusun regulasi penanganan karhutla. Ada pula yang terjun langsung ke lapangan memadamkan api. Namun bagi masyarakat perkotaan yang tidak terkoneksi dengan hutan secara geografis, khususnya pemuda yang acap kali belum berkesempatan untuk duduk di kursi pemerintahan, mungkin bingung dengan bagaimana mereka bisa berkontribusi dalam aksi penyelamatan hutan dari kebakaran.
Namun jangan berkecil hati. Ada beberapa hal yang bisa pemuda perkotaan lakukan untuk dapat berkontribusi dalam menangani karhutla dan melindungi hutan dari ancaman kebakaran, di antaranya:
- Memperkaya wawasan terkait karhutla, mulai dari penyebab, pencegahan, dan mitigasinya.
- Mengedukasi masyarakat sekitar yang dapat dimulai dengan himbauan untuk tidak membakar sampah sembarangan, terutama saat musim kering.
- Mengkampanyekan kepedulian terhadap hutan dan ancaman kebakaran hutan melalui media sosial.
- Ikut serta dalam aksi donasi pohon sebagai bentuk upaya pemulihan hutan dan lahan pasca kebakaran.
Dengan El-Niño yang diprediksi akan masih berlanjut hingga tahun 2024, apakah kita mau membiarkan kasus karhutla terus meningkat? Yuk jaga hutan dari kebakaran, jaga hutan untuk iklim, dan ambil aksimu sekarang!