Dipublikasikan oleh admin pada 08 Apr 2021
Karya: Shaula Felicia
Jalan-jalan ke hutan mangrove. Cakep. Eh, ini bukan pantun tapi emang keempatbelasan kami main ke sana.
Rencana keberangkatan kami pukul 8.00 WIB dari Halte Transjakarta Ragunan. Namun, seperti halnya bocah-bocah tongkrongan di mana pun itu berada, janjian jam 8 di tempat malah jam 8 baru bangun. Alhasil, keberangkatan kita menjadi jam 10.00 WIB. Departure delay. Parahnya lagi, ada satu dari kami yang gak mandi karena udah kesiangan.
Kegiatan jalan-jalan ke hutan mangrove ini atau yang biasa kami sebut dengan ngebolang terjadi pada tanggal 9 Januari 2020. Belum ada virus Covid-19 di Jakarta kala itu, kami bebas ke mana saja tanpa masker yang menutupi setengah wajah kami. Semua keadaan masih normal terkendali.
Setelah tunggu-tungguan yang cukup lama, kami berempat belas naik bus pertama kami. Dilihat dari jumlah kami yang cukup banyak, keempatbelasan kami mengutus satu orang dari kami sebagai pembina kelompok kami, lalu sebagai ketua kelompok, yaitu gue, dan satu wakil ketua kelompok. Yah, walaupun jabatan tersebut tidak terlalu berguna untuk sebuah kalompok jalan-jalan tetapi setidaknya berguna saat kami bingung menentukan arah dan mulai timbul debat kecil di antara kami. Saat menentukan destinasi jalan-jalan kami menuju hutan mangrove saja panjang kali lebar diskusinya, tak selesai-selesai. Namun, pada saat itu akhirnya kami semua sepakat untuk jalan-jalan ke alam dan sepakat lah hutan mangrove karena belum ada yang pernah kesana.
Menuju hutan mangrove naik transjakarta bukan sesuatu yang sulit. Sudah ada aplikasi yang membantu kebingungan kami pada saat memilih rute dan nomor bus transjakartanya. Hal yang sulit adalah saat rute transjakarta berakhir. Dengan bermodal google maps, keempatbelasan kami memutuskan berjalan kaki untuk sampai ke hutan mangrove. Kami berjalan jauh sekali di tengah siang bolong, di pinggir jalan besar yang entah apa nama jalannya. Beberapa kali angkot berwarna merah terlihat, suara keempatbelasan sudah terbagi dua. Ada yang ingin naik angkot dan yang ingin tetap berjalan kaki. Gue tim yang pilih jalan kaki dong, biar lebih kerasa ngebolangnya. Namun, suara terbanyak tetap dimiliki tim yang memilih jalan kaki, berlanjutlah petualangan kami dengan jalan kaki.
Sepuluh menit berlalu. Lima belas menit. Dua puluh menit. Dua puluh lima menit. Dan akhirnya tiga puluh menit hutan mangrove tujuan kami belum juga terlihat. Akhirnya, kami menyerah. Kami bertanya pada orang sekitar di mana letak hutan mangrove dan ternyata jawabannya sungguh mencengangkan. Tiga puluh menit kami berjalan tadi sia-sia. Kami berjalan ke arah yang salah. Mau tahu kami menyalahkan siapa? Salah si pembina, Otong namanya, dia yang mengarahkan kami semua, ”Ah, Otong! Gara-gara lu, nih, pokoknya tar malem lu yang traktir, ya!” kata salah satu dari kami dan kami hanya tertawa sambil kelelahan.
Keputusan selanjutnya adalah naik angkot berwarna merah. Kami mencharter angkot yang kebetulan lewat di samping kami. Hanya butuh 1 angkot untuk berempatbelas. Kami duduk berhimpitan, ada yang lesehan di bawah, dan bergelantungan di pintu angkot. Sangat tidak safety. Angkot melaju dengan cepat dan dalam sekejap kami sampai di tujuan, hutan mangrove.
Kami masuk ke dalam hutan mangrove. Menyusuri jalan sunyi yang kanan kirinya dipenuhi pohon bakau. Akarnya bermunculan ke atas. Airnya tenang dan sesekali terlihat biawak melintas. Udaranya segar, berbeda dengan yang biasa kami hirup di kota. Pepohonan disana menutupi kami dari sinar matahari terik. Setelah perjalanan panjang tadi, kami duduk beristirahat di tengah jembatan bambu, tidak ada orang lagi selain kami. Kami duduk melingkar, berbincang-bincang, sesekali tertawa, dan tak lupa dokumentasi.
Setelah puas duduk-duduk di sana, kami melanjutkan perjalanan melihat seisi hutan mangrove. Di sana ada semacam rumah kayu yang dibuat lebih tinggi dari rumah kayu pada umumnya, kami naik ke sana dan melihat burung-burung terbang dari atas. Cukup menyenangkan melihatnya. Pemandangan hutan dan rawa-rawa semakin luas. Semakin indah.
Saat hari menjelang sore, kami memutuskan pulang. Seru sekali! Kami senang masih ada destinasi wisata alam di Jakarta. Karena saat keadan kota sudah cukup menjenuhkan, pelarian terbaik bagi kami adalah lari ke alam. Pada cerita ini, kami berterima kasih karena sudah mendapat kesempatan untuk berlari ke hutan mangrove.