Dipublikasikan oleh admin pada 17 Nov 2022
Kupang, 17 Februari 2022 一 Hari ini menandai diresmikannya Pesta Raya Flobamoratas (PRF) 2022 yang
secara perdana menjadi selebrasi untuk mengangkat kearifan lokal dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, Lembata, dan Sabu. Setiap daerah ini memiliki karakter dan potensi unik yang mewakili kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang di dunia. Dalam PRF yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, 18 dan 19 November 2022, di Waterpark Kupang, cerita budaya NTT akan dikemas dalam bentuk pertunjukan musik, lagu, film, pameran kain tradisional, dan festival kuliner bertema “Sound of Earth”. Semuanya menyampaikan satu benang merah bahwa budaya kita yang sangat kaya mengajarkan kita banyak hal positif yang mendukung perilaku menjaga lingkungan dan tentu saja masih relevan hingga sekarang.
Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, menyampaikan dukungan bagi PRF
2022, “Selamat dan sukses atas terselenggaranya kegiatan Pesta Raya Flobamoratas yang merupakan pesta budaya Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengangkat tema “Adil untuk Bumi, Adil untuk Semua”. Saya berharap kegiatan ini dapat memberikan pandangan luas dan perspektif baru akan perubahan dan solusi iklim lokal yang dikemas dengan cerita yang menarik, meliputi kebudayaan dan kearifan lokal, sehingga menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia untuk menghadapi tantangan yang ada. Semoga rangkaian kegiatan ini berjalan lancar dan sukses sehingga dapat mendorong kebangkitan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya demi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Mari bersama kita dukung upaya masyarakat NTT untuk berinovasi dan beradaptasi untuk terus optimis dan maju serta dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi daerah-daerah lain untuk peduli pada isu perubahan iklim.”
Pemerintah NTT melalui Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, Ondy C. Siagian, juga turut mendukung penyelenggaraan PRF dan dalam pernyataannya mewakili Gubernur NTT beliau
menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi NTT telah memiliki target dan strategi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. “Dalam kewenangan Dinas LHK terdapat upaya peningkatan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan melakukan penguatan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta
peningkatan kesejahteraan melalui program Kampung Iklim (Proklim). Namun yang paling penting dari setiap program adaptasi dan mitigasi saat ini, yaitu membangun kepemimpinan di masyarakat dan anak muda yang punya kepedulian tinggi pada lingkungan dan memberikan kesempatan kepada mereka, dan membangun kemitraan strategis seperti yang saat ini kita lakukan bersama VCA di NTT.”
Aleta Baun, aktivitas perempuan dan lingkungan NTT, adalah tokoh yang sangat tepat untuk memberikan konteks yang membuat publik terutama anak muda lebih sensitif dalam menjaga alam. “Alam memberi kehidupan, dari pangan, sandang, dan papan. Di rumah kita dan di masyarakat pada umumnya, perempuan berperan dalam menyediakan kebutuhan hidup. Kebiasaan perempuan NTT, ketika mau tebas pohon memohon maaf dan ijin karena harus mengambil hidup pohon. Pohon ada darah, ada daging, ada tulang, ada rambut. Maka ketika orang menebas, berarti hidup pohonnya akan habis. Ketika alam rusak, perempuan tidak akan tinggal diam karena perempuan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tidak bisa lagi menyediakan kebutuhan hidup. Jadi kita perlu lebih mencintai lingkungan, mengelola alam secara arif dan bijaksana, sekaligus mengingat sosok Ibu dengan memastikan keterlibatan perempuan dalam setiap aksi dan program kita.
Menyampaikan lebih detail soal PRF, Yurgen Nubatonis, menyebutkan bahwa suara anak muda selalu
menjadi titik tekan dalam setiap perubahan di tingkat global dan nasional. Dalam banyak momentum
penting bangsa Indonesia, anak muda selalu ada sebagai pelopor dan penggerak. Transformasi Indonesia pada pembangunan berkelanjutan akan sangat bergantung pada anak muda. “Sudah saatnya cerita dan inisiatif pergerakan anak muda di NTT untuk perubahan iklim dapat dikonsumsi oleh rekan-rekannya di regional lain, lewat kemasan yang menggugah emosi, seperti musik, lagu, film, pameran produk kreatif foto, tenun, dan kuliner. PRF memiliki semuanya. Kita undang semua orang NTT untuk berpesta. Acara ini kreatif dan inovatif supaya menarik anak muda. Dua hari memang waktu yang singkat, namun kami ingin memulai langkah kecil untuk perubahan masif. PRF bertema Adil untuk Bumi. Seminimal mungkin tidak menghasilkan sampah. Desainnya sengaja dibuat bisa dipakai lagi dan lebih hemat listrik. Mari hadir besok dan lusa untuk karya kreatif anak muda NTT, termasuk untuk teman-teman difabel karena akan ada juru bahasa isyarat. Dan, Gratis. Karena PRF juga Adil untuk Semua.”
Magdalena Oa Eda Tukan, Simpasio Institute Larantuka, Flores Timur, dan perwakilan orang muda NTT,
“Krisis ekologi dan perubahan iklim adalah masalah kita bersama. Kita punya cara ampuh untuk
menyuarakan ini sesuai cara anak muda. Kami dari Larantuka tidak sendirian. Ada ratusan komunitas di NTT yang sudah melakukan aksi secara terus menerus melalui sudut pandang budaya dan alam, seperti dari tutur cerita hidup bersama harmonis dengan alam atau dongeng. Ini yang kami rasa perlu dijaga dan dilestarikan. Jangan sampai budaya nenek moyang berhenti. Ketika kita menyadari tidak sendirian, suara kita makin keras dan bisa didengar. PRF adalah kesempatan baik membuat suara anak muda NTT bisa diamplifikasi dan didengar, termasuk oleh anak-anak muda Indonesia di luar NTT, dalam berbagai bentuk produk kreatif.”
“Ketika kita bicara perubahan iklim, saya selalu ingat dengan kutipan ini: manusia, bukan hanya emisi
karbon, seharusnya menjadi pusat dari aksi iklim. Dan, solusi iklim berbasis lokal adalah ujung tombak
penanganan krisis iklim karena sesuai dengan karakter daerah, menjawab kebutuhan masyarakat, dan
mengurangi risiko upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim iklim yang tidak tepat. Partisipasi kita semua sebagai masyarakat sungguh berarti, khususnya dari mereka yang paling terkena dampak, seperti kelompok perempuan, anak muda, dan kelompok marjinal lainnya. PRF adalah sarana menyuarakan aksi dari kita, oleh kita, untuk kita, menjadi ruang belajar yang inspiratif, dan terinspirasi mereplikasi aksi tersebut,” tutup Arti Indallah Tjakranegara, Voice of Climate Action Country Engagement Manager, Yayasan Hivos Indonesia.